Sabtu, 24 April 2010

Ketika Negara dikuasai oleh Para KORUPTOR

      Semakin sedih dengan keadaan Indonesia sekarang ini.Satu persatu kebusukan dalam mengelola negara terungkap,korupsi,mafia peradilan,mafia hukum jelas nampak didepan mata dan menjadi berita sehari-hari.Adakah harapan lebih baik untuk negara seperti ini?Peraturan di buat untuk diakali,bukan ditegakkan untuk kebaikan dan kehormatan rakyat.Bahkan sekarang peraturan di buat untuk sengaja mematikan rakyat kecil.Bagaimana sekarang mall  yang dikuasai oleh pemodal besar,sudah masuk ke kabupaten,yang mematikan usaha kecil dan pasar tradisional.Ketika negara dengan basis pertanian dan pelayaran,karena bentang luas wilayahnya terdiri dari lahan-lahan pertanian yang subur dan laut yang luas yang sesungguhnya sebagai modal yang sangat besar untuk maju dan berkembang,tapi kita malah terpuruk dan miskin.Kita malah jadi pengimpor gandum,bahkan garam.Sementara petani kecil tidak pernah diurus dan diberdayakan.Yang ada kemudian adalah para penguasa korup ini membuat peraturan yang memberi ruang investasi yang sangat luas kepada investor asing yang mempunyai modal besar.Lengkap sudah penderitaan bangsa ini,kehormatan yang digadaikan,kesejahteraan yang sudah di jual kepada kapital asing,yang sesungguhnya hanya menguntungkan para investor asing dan para penguasa korup atas komisi yang diterimanya.Rakyat diabaikan,kesejahteraan digadaikan kepada investor asing sehingga menjadilah negara yang tanpa daulat pada hakekatnya.

Kutipan kompas hari ini.....semakin saya mengelus dada.....



Kebijakan Negara Agraris
Kebijakan yang Bikin Petani Miris
Jumat, 23 April 2010 | 21:51 WIB
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Ilustrasi sawah
JAKARTA, KOMPAS.com - Negara meninggalkan petani kecil dan mendukung pengusaha di bidang pangan tergambar jelas dalam draft Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan.

Draft ini, hanya salah satu bukti bahwa pemerintah tidak menganggap produsen kecil, baik petani, pekebun dan nelayan sebagai tulang punggung pangan nasional. Demikian Aliansi untuk Desa Sejahtera memaparkan pandangannya terhadap masalah pangan terkait draft Permen tersebut.    

“Draft ini tidak menjawab permasalahan mendasar dalam pertanian dan pemenuhan pangan diantaranya, kerusakan lingkungan dan perubahan iklim, infrastruktur, kecilnya kepemilikan lahan,sistem perbenihan yang lemah, akses petani terhadap modal yang terbatas, kapasitas petani kecil yang rendah, rawan pangan,” ujar Tejo Wahyu Jatmiko, Koordinator Nasional untuk Desa Sejahtera di Jakarta, Jumat (23/4/2010).
 
Tejo mencatat, pengabaian terhadap petani sudah tersurat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2010-2014) yang menempatkan Ketahanan Pangan sebagai prioritas ke 5.”Artinya  nasib petani, nelayan kecil pekebun kecil bukan yang utama.”tegasnya.  
Ketua Pokja Pangan/beras Witoro mengungkapkan draft ini memang cerminan dari visi Kementrian Pertanian yang tertuang dalam Rancangan Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2010-2014, yang ingin mewujudkan pertanian industrial unggul berkelanjutan yang berbasis sumber daya lokal untuk meningkatkan kemandirian pangan, nilai tambah,daya saing, ekspor dan kesejahteraan petani.

“Kesejahteraan petani kecil memang bukan tujuan utama, tetapi untuk industrialisasi pertanian semata”. Terang Witoro.

Keberpihakan kepada pemodal besar sudah diterapkan pada pengembangan perkebunan kelapa sawit. ”Akibatnya petani sawit mandiri, yang lahannya tidak luas, hanya menjadi buruh.  Mereka kesulitan dalam mengakses berbagai sumber daya yang diperlukan agar hasil kebunnya optimal, dari benih, pupuk, hingga penjualan tandan buah segar," jelas anggota Pokja Sawit ADS Achmad Surambo.

Dukungan besar terhadap industri pada akhirnya menyulitkan petani sawit untuk meningkatkan kesejahteraannya. Hal yang serupa juga terjadi pada pengurusan sumberdaya pesisir dan laut.

“pada Pasal 14 UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pualu Kecil, pemerintah dengan sengaja memberikan hak eksklusif kepada dunia usaha untuk menyusun rencana strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi pengelolaan wilayah pesisir. Ujung-ujungnya pemberian sertifikat Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) berpotensi memperbesar privatisasi kawasan pesisir, sekaligus menutup akses nelayan tradisional kepada sumberdaya”, ujar Ketua Pokja Perikanan ADS Riza Damanik.

Riza mengingatkan bahwa kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan pangan terkini, masih memberikan tekanan pada target produksi, namun abai merincikan prosesnnya. Model seperti ini adalah replikasi atas model ekonomi sumberdayaa alam yang telah dipraktekkan kurun 40 tahun terakhir, dan terbukti gagal menciptakan kesejahteraan dan kemandirian bangsa.

Jika pemerintah memang mau mensejahterakan rakyat, sesuai visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional: terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan, bukan pengusaha dan modal besar yang menjadi prioritas utama, tetapi mengurus tulang punggung penyedia pangan Negara ini diantaranya petani kecil, nelayan tradisonal dan pekebun mandiri.

Diantaranya dengan menjalankan amanat UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan terutama pasal 61,62,63,64 dan 65, yang mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah melindungi dan memberdayakan petani, imbuh Tejo.

Draft PerMentan ini jelas arahnya, membuka jalan seluas-luasnya investasi  bidang pangan dalam bentuk Food Estate termasuk didalamnya Merauke Integrated Food Energy Estate serta  penggunaan benih trangenik, yang hanya bisa dilakukan  oleh pemodal besar.

Draft Permentan ini tidak layak  dikeluarkan, kecuali jika pemerintah memang berniat terus mengabaikan petaninya, tegas Tejo.



0 comments: