Kamis, 29 April 2010

Ketika Negara dikuasai oleh Para KORUPTOR 1

Penggalan kisah dari negeri yang tanahnya subur,membentang luas,pantainya memanjang,tapi laksana pepatah;ayam mati di lumbung padi.Negeri yang aneh,entah apa yang dapat dipersembahkan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan,ketika lahan pertanian masih luas,negara masih saja impor beras,gandum,kedelai bahkan garam sekalipun.Padahal yang masih saya ingat tentang pembuatan garam hanya dengan mengalirkan air laut ke tambak-tambak sehingga terjadi penguapan maka yang tersisa adalah garam.Garis pantai membentang luas dari sabang sampai merauke,tapi apa yang terjadi???
 
 Kalaupun yang terjadi sekarang ini adalah sebuah kesengajaan karena ketidak becusan dalam mengelola negara,mengabaikan kesejahteraan rakyat,tidak ada lagi proteksi terhadap rakyat miskin,betapa sesungguhnya para penguasa adalah pelacur politik.Anda pasti sangat ingat ketika mereka berkampanye,jargon-jargon yang mereka lontarkan,janji-janji yang mereka ucapkan,seakan mereka adalah dewa penyelamat bagi orang-orang miskin.Mereka kemudian tanpa malu dan canggung berbaur dan blusukan ke pasar-pasar tradisional,bergaul dan blusukan ke kantong-kantong kemiskinan demi suara rakyat sebagi pemilik kedaulatan negara.

Tapi apa lacur sekarang????

 Ketika mereka sudah berkuasa,maka seperti inilah sifat asli mereka,buas,serakah dan anti pada rakyat miskin.Cuplikan berita ini semakin membulatkan keyakinan saya sungguh penguasa Indonesia adalah orang-orang yang tidak memberi tempat bagi anak-anak bangsa yang miskin dan tidak memproteksi rakyat dari kepentingan kapital global yang hanya mengeruk untung sebesar-besarnya untuk kepentingan mereka sendiri sementara penguasa mendapat bayaran atas kebijakan yang diambil yang tidak pro rakyat.Sementara mereka selalu berkoar...pro rakyat..penganut ekonomi kerakyatan....
.....................................
 
Pemerintah Tidak Lagi Mendengarkan Petani
 
Selasa, 20 April 2010 | 04:01 WIB
Oleh Hermas E Prabowo
Secara mengejutkan, Kementerian Pertanian membuat Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan.
Peraturan ini diharapkan bisa menjadi pegangan swasta yang hendak berinvestasi di bidang budidaya tanaman pangan, baik pada proses produksi maupun penanganan pascapanen.
Peluang investasi pada proses produksi meliputi usaha penyiapan lahan dan media tumbuh tanaman, pembenihan, penanaman, pemeliharaan atau perlindungan tanaman, dan pemanenan.
Adapun peluang usaha terkait penanganan pascapanen meliputi pembersihan komoditas, pengupasan atau perontokan, pengeringan, sortasi, grading, pengolahan, pengawetan, pengemasan, penyimpanan, standardisasi mutu, dan distribusi atau pemasaran hasil produksi.
Yang menarik dari draf peraturan menteri pertanian (permentan) itu karena di dalamnya selain mengatur perizinan usaha tanaman pangan dalam skala luas, yakni usaha tani pangan di atas lahan lebih dari 25 hektar, juga mengatur ”perizinan” untuk usaha tani pangan dengan luasan lahan kurang dari 25 hektar.
Dengan kata lain, petani kecil dengan kepemilikan lahan dan usaha tani kurang dari 0,5 hektar juga turut menjadi obyek kebijakan. Hanya saja, khusus untuk petani kecil, Kementerian Pertanian mewajibkan mereka untuk didaftar.
Tak kenal petani
Setelah pendaftaran dilakukan, oleh bupati/wali kota atau yang mewakilinya, para petani itu diberi semacam ”surat” yang oleh permentan disebut sebagai Tanda Daftar Usaha Proses Produksi atau Tanda Daftar Usaha Penanganan Pascapanen.
Draf permentan juga tidak mengenal istilah petani, apalagi petani kecil. Aturan itu hanya mengenal istilah pelaku usaha, baik bagi petani gurem maupun untuk petani skala luas. Lebih mengejutkan lagi ketika aturan baru itu dibuat, ternyata sama sekali tidak melibatkan petani selaku pemangku kepentingan.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir di Jakarta, Senin (19/4), menyatakan, biasanya pemerintah melibatkan petani sebagai pemangku kepentingan. Sebab, bagaimanapun, yang memiliki lahan dan yang mengusahakan lahan pertanian adalah petani, bukan pemerintah.
Pada draf permentan terungkap bahwa yang diajak membahas aturan baru ini selain pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, hanya 11 perusahaan nasional dan multinasional.
Mereka adalah PT Bangun Cipta Sarana, PT Digul Agro Lestari, PT Muting Jaya Lestari, PT Sumber Alam Sutera, PT Pertani (Persero), PT Sang Hyang Seri (Persero), Biogene PT Plantation, PT Monsanto Indonesia, PT DuPont Indonesia, PT Bayer Indonesia, dan PT Bisi Internasional Tbk.
Menurut Winarno, saat ini ada sekitar 25 juta rumah tangga petani terlibat dalam usaha budidaya tanaman pangan. Ini bukan jumlah yang kecil, mengapa pemerintah tidak mau mendengarkan suara petani?
Sekretaris Jenderal HKTI Rachmat Pambudy menyatakan belum mengetahui aturan itu. Begitu pula dengan Ketua Umum Wahana Masyarakat Tani Indonesia Agusdin Pulungan. ”Kami bahkan secara tegas menolak aturan itu,” katanya.
Guru Besar Ekonomi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada M Maksum mempertanyakan itu. Karena tidak melibatkan petani atau orang yang dekat dengan petani, aturan itu kehilangan sensitivitas. Bagaimana pengambilan keputusan tanpa melibatkan pemangku kepentingan di sektor pertanian.
Tidak satu kali
Menurut Winarno, tidak kali ini saja petani ditinggalkan pemerintah. Ketika menyusun kebijakan soal harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras 2008, petani juga tidak dilibatkan. Begitu pula dalam penyusunan HPP 2010 yang tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 7/2009 tentang Kebijakan Perberasan.
Dalam kebijakan HPP terbaru, ditetapkan HPP untuk gabah kering panen di tingkat petani Rp 2.640 per kilogram, sementara harga beras hanya Rp 5.060 per kilogram.
Proporsi kebijakan HPP yang kurang ideal itu mengakibatkan kebijakan HPP tidak bisa diimplementasikan di lapangan. Memang di atas kertas HPP gabah naik, tetapi faktanya gabah petani dihargai kurang dari besarnya HPP.
Tak hanya soal HPP dan permentan petani ditinggal. Ketika merumuskan kenaikan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi muncul usulan dari petani agar sebaiknya kenaikan HET pupuk dilakukan setelah petani mengakhiri masa tanam musim gadu, tetapi pemerintah tetap pada keputusannya untuk menaikkan HET pupuk. Celakanya harga gabah petani jatuh juga.
Pengamat perberasan Husein Sawit menyatakan, kebijakan HPP dengan proporsi harga yang wajar akan merangsang tumbuhnya usaha pengeringan padi secara mekanis dan mendorong petani meningkatkan mutu gabah. Bulog pun akan bekerja lebih baik. Kalau pemerintah tidak menghargai petani, jangan salahkan petani kalau memilih jalan sendiri. Mereka akan menanam komoditas pangan sesuai kebutuhan masing-masing.

 ..........................................................
Pemerintah Tak Libatkan Petani
 
Permentan Sebaiknya Dibatalkan
 
Selasa, 20 April 2010 | 03:59 WIB
Jakarta, Kompas - Kementerian Pertanian mengakui tidak melibatkan petani ataupun organisasi tani dalam proses penyusunan draf Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan.
Meski demikian, kewajiban untuk mendaftarkan jenis usaha tani dan luasannya secara aktif dilakukan oleh bupati/wali kota, bukan petani.
Hal itu diungkapkan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Gatot Irianto di Jakarta, Senin (19/4), menanggapi reaksi keras petani dan organisasi tani atas rencana kewajiban pendaftaran usaha tani pangan ke bupati/wali kota.
Aturan baru itu dinilai para pemangku kepentingan di bidang pertanian akan menyulitkan petani karena mereka akan menjadi obyek pemerasan (Kompas, 19/4).
Gatot menyatakan, kewajiban pendaftaran usaha tani untuk skala usaha kurang dari 25 hektar dan melibatkan tenaga kerja tetap kurang dari 10 orang ada pada bupati/wali kota, bukan pada petani.
Ditanya jaminan yang bisa diberikan pemerintah pusat bahwa nantinya bukan petani yang harus mendaftar, tetapi pemerintah daerah, Gatot menyatakan, sebagai konsekuensi dari keluarnya permentan, pemda harus mengeluarkan kebijakan turunan.
Kebijakan itu juga harus terefleksi pada alokasi kebijakan anggaran untuk pendataan usaha tani. Dengan melakukan pendaftaran, akan diketahui jenis komoditas yang ditanam, luas usaha tani, dan hama penyakit yang mewabah.
Ditanya alasan tidak dilibatkannya petani dan organisasi tani dalam penyusunan draf permentan, Gatot berdalih, dalam permentan yang diatur adalah investor atau swasta dengan skala usaha lebih dari 25 hektar. ”Karena tidak mengatur petani kecil, tidak masalah (tidak melibatkan mereka),” ungkap Gatot.
Hanya soal teknis
Sekretaris Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Udhoro Kasih Anggoro juga mengakui bahwa penyusunan permentan tidak melibatkan petani.
”Karena ini baru tahap pertama, belum melibatkan petani dan organisasi tani. Nanti, dalam tahap kedua, tahap sosialisasi, kami akan undang petani, organisasi tani, dan media massa,” katanya. Anggoro beranggapan bahwa pelibatan petani dan organisasi tani hanya soal teknis pemanggilan.
Dalam draf permentan yang diterima Kompas, terlihat sudah final. Permentan itu memuat 10 bab dan 46 pasal. Pada lembaran terakhir, tertera secara rinci kolom tanggal penetapan, kolom tanda tangan Menteri Pertanian Suswono, kolom tanggal diundangkan, kolom tanda tangan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar, lengkap dengan kolom nomor untuk berita negara.
Menanggapi aturan baru, petani dari Yogyakarta akan menanam padi untuk keperluan sendiri dan tidak untuk dijual.
Petani Jawa Barat juga menolak aturan itu. Udju Tarmidji (37), petani pemilik lahan di Desa Tegalluar, Kecamatan Bojongsoang, Kabupaten Bandung, mengatakan, jika diterapkan, aturan tersebut akan sangat menyulitkan petani. ”Kenapa petani sekarang justru dibebani dengan persoalan administratif yang membebani?” ujarnya.
Petani dan pemilik lahan padi seluas 1,5 hektar di Desa Rancaekek Wetan, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung, Undang Suharna (51), tidak setuju kalau aturan itu dijalankan.
Guru Besar Ekonomi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada M Maksum mengatakan, pendataan memang perlu, tetapi bukan urusannya petani kecil.
Birokrasi harus proaktif melakukan pendataan. ”Membangun pertanian harus berdasarkan kesepahaman. Itulah local wisdom,” katanya.
Maksum meminta aturan itu ditarik saja. ”Membuat repot petani miskin. Sudah miskin, tanah terbatas, dan belum tentu untung masih harus lapor,” katanya.
Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Jawa Barat Oo Sutisna ragu bupati/wali kota mampu menjalankan aturan baru ini.
Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) juga secara tegas menolak aturan baru tersebut. Ketua Umum DPP APTRI Abdul Wachid menyatakan, permentan itu akan mengebiri petani. Padahal, seharusnya petani bebas menanam jenis komoditas. (MAS)

0 comments: