KDNY (Kabar Dari New York):
Awalnya,
ia hanya ingin meneliti Islam, khususnya fikih dan perbandingan hukum
Islam. Tapi, ia mengaku “jatuh cinta” pada Islam. Sejak dua bulan
terakhir ini, the Forum for non/new Muslims membahas tafsir S.
Al-Hujurat Al-Quran. Rupanya metode pembahasan dengan menjelaskan kata
per kata cukup menarik bagi banyak peserta. Memang di antara peserta
itu sudah ada yang pernah mengambil kursus bahasa Arab. Sehingga
pembahasan ayat-ayat Al-Quran dengan pendekatan “kata per kata” dan
mendalami makna ayat-ayatnya dengan mendalami makna dari setiap kata
menjadi daya tarik tersendiri.
Hari pertama saja, ketika saya menjelaskan kata ‘aamanuu’ pada ayat “yaa aayuhalladzina aamanuu laa tuqaddimuu……dst”, mengambil waktu yang cukup panjang untuk menjelaskan semua makna yang terkait dengan kata itu.
Dimulai dari kata “amina-ya’manu-amnun” yang berarti “aman”, hingga “aamana-yuuminu-I’maan wa amaanah” yang berarti “amanah” atau kepercayaan.
Duduk di salah satu sudut ruangan yang tidak terlalu luas itu, seorang
gadis bule. Wajahnya putih bersih dan penuh senyum, tapi menampakkan
sikap pemalu. Sesekali gadis itu menyelah seolah-olah membenarkan
penjelasan saya, atau menguatkan argumentasi-argumentasi yang saya
berikan.
Saya memang agak terkejut. Apalagi gadis ini belum saya kenal dengan baik. Maka, dalam sebuah sesi hari Sabtu itu saya Tanya, “may I ask you?”
“Yes sir!” jawabnya sopan.
“Do you speak Arabic?”, tanyaku.
“Oh no!”, katanya malu-malu. “But I took some course on Arabic”, lanjutnya.
"Di mana anda mengambil kursus Arab, dan bagaimana tingkat bahasa Arab mu?" tanyaku.
Dengan sedikit tertawa dia mengatakan, “Jujur saya malu mengatakannya. Saya baru pemula.”
“Saya juga pemula! Jawab saya sambil bercanda.Menjelang akhir kelas, dua Sabtu lalu, Katherine, demikian dia
mengenalkan diri, seperti ingin sekali mengatakan sesuatu tapi
sepertinya sangat malu, atau sepertinya berat untuk disampaikan.
Sesekali ingin mengatakan sesuatu, namun setiap kali saya pancing untuk
berbicara, jawabannya “am..amm never mind!”, seperti gaya anak remaja yang cuwek.
Setelah kelas bubar, barulah Katherine mendekat dan meminta waktu untuk
berbicara. Oleh karena waktu saya singkat, saya katakan, apakah dia
perlu waktu panjang?
“Tidak, hanya perlu waktu anda beberapa menit saja,” katanya.
Saya kemudian meminta izin untuk menyelesaikan beberapa hal yang perlu
saya selesaikan. Beberapa saat kemudian saya memintanya untuk masuk ke
‘conference room’. Katherine masuk ke ruang conference dan berencana
menutup pintu, tapi saya memintanya untuk tetap pintu terbuka. “It’s
fine, don’t close it”, kata saya.
“Alright Katherine! Adakah hal yang bisa aku bantu?”, saya memulai percakapan siang itu.
“Iman (maksudnya Imam), are you familiar with Imam Latif?”, tanyanya.
“Latif yang mana yang anda maksudkan? Aku mempunyai beberapa nama Latif dalam memori ku”, kataku merujuk kepada kenyataan bahwa saya mengenal beberapa teman yang kebetulan bernama Latif atau Abdul Latif.
“I think he is the Imam at the NYU”, jawabnya.
“Oh yeah, he is the Muslim Chaplain at the NYU and as well the Muslim Chaplain for the NYPD”, jelasku.
Saya kemudian bertanya, ada apa dengan Imam Khalid Latif (nama lengkap
Chaplain yang dimaksud) itu. Barulah kemudian saya tahu kalau Katherine
itu adalah mahasiswa S3 di NYU, yang ternyata sedang menulis
disertasinya dalam perbandingan madzhab Maliki dan Syafi’i.
"Aku telah menghadiri sebagian dari ceramah kuliah dan kutbahnya." (maksudnya Khutbah)”, katanya mengenai Imam Latif.
Saya kemudian bertanya, kenapa ingin berbicara ke saya siang itu? Dari percakapan itu ternyata Katherine sudah meneliti Islam, khususnya fikih dan perbandingan fikih dalam hukum Islam. “For me, it’s simply amazing!”
(bagiku itu benar-benar mengagumkan), katanya mengenai diskusi-diskusi
atau perdebatan-perdebatan yang terjadi di antara pada ulama Islam.
Menurutnya, semakin dia dalam perberdaan pendapat para ulama itu,
semakin sadar bahwa Islam itu begitu menjunjung tinggi ilmu dan
semangat pencarian (inquiries). Dia bahkan mengetahui betul bahwa
semangat inilah yang pernah menjadikan Islam jaya dalam segala lini
kehidupan manusia.
“And so, what I can do for you?”, tanya saya. Maksud saya,
barangkali ingin mendiskusikan sesuatu yang berhubungan dengan
disertasinya. Atau mungkin ingin mengklarifikasi tentang sesuatu dalam
penelitian yang dilakukannya.
Katherine terdiam dan bahkan menunduk beberapa saat. “Saya berfikir untuk memeluk Islam,” katanya seraya meneteskan airmata.
Tanpa terasa saya hanya langsung mengucapkan “alhamdulillah!”. Bagi
Katherine tentu kata ini bukan sesuatu yang asing lagi. Mendengar itu
dia hanya tersenyum seraya mengusap airmatanya.
“Are you sure, Katherine?”.
“Yes, I am sure. Pada dasarnya, saya telah memikirkan tentang dalam waktu yang cukup lama,” katanya.
Saya kemudian mencoba menjelaskan kembali makna berislam. Bahwa beislam
itu bukan sekedar mengetahui kebenaran ini, tapi dari itu merupakan
komitmen hidup untuk melakukan perubahan internal maupun eksternal
untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Saya memang tidak berpanjang lebar lagi berbicara kepada Katherine.
Saya tahu Katherine sebenarnya tahu banyak tentang Islam, dan bahkan
mungkin lebih banyak tahu dari ‘average Muslims’ yang terlahir dari
orang tua Muslim. Apalagi memang dia telah meneliti hukum Islam,
khususnya mengenai fikih Islam.
“Are you ready?”, kembali saya tanya.
“Yes!”, jawabnya tegas.
Saya meminta ke resepsionis untuk mencarikan dua orang saksi. Setelah
saksi hadir di ruang pertemuan itu, saya memulai menuntun Katherine
mengikrarkan:
“Laa ilaaha illa Allah-Muhammadan Rasul Allah”.
Diikuti pekik Allahu Akbar, saya mendoakan semoga Katherine dikuatkan
dan bahkan menjadi da’iyah di jalanNya. Alhamdulillah!
[www.hidayatullah.com]
New York, April 18, 2008
Senin, 04 Januari 2010
Kekaguman Katherine Wesley
Labels:
Syiar Islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar