Senin, 04 Januari 2010

Mengislamkan Amerika : Catatan Dakwah Dai Muda Asal Indonesia di Amerika



KDNY (Kabar Dari New York):
M. Syamsi Ali : Imam Masjid Islamic Cultural Center of New York
imageimageSINOPSIS : Setelah Jum’atan, ditemani seorang Sister, Margarita menemui saya di depan pintu. Dengan sedikit canggung, dia menyampaikan keinginannya untuk resmi menjadi seorang Muslimah. Alhamdulillah, disaksikan oleh ribuan jamaah, Margarita diiringi oleh linangan airmata berikrar,”Asyhadu an laa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allah”, disambut dengan pekikan takbir berkali-kali oleh para hadirin.” *Mengislamkan Amerika, itulah barangkali cita-cita ustadz muda Syamsi Ali. Ia hijrah ke negeri adidaya itu bukan untuk mencari nafkah atau berhura-hura. Syamsi merelakan diri jauh dari tanah air kesayangan, untuk menyambung misi Rasulullah saw., menyebarkan dakwah Islam. Liku-liku, pengalaman dan materi dakwahnya di kediamannya New York dan negara-negara bagian lain diabadikan dalam buku ini.

Syamsi Ali, lahir di Kajang-Sulawesi Selatan, 5 Oktober 1967. Syamsi kecil menyelesaikan Sekolah Dasar di kampung halamannya suku Kajang, Sulsel. Untuk memperdalam ilmu agama, orangtuanya kemudian menyekolahkan Syamsi ke Pondok Pesantren Muhammadiyah “*Darul-Arqam* “, Makasar. Setelah tamat dari pesantren tahun 1987, Syamsi remaja mengabdikan diri sebagai staf pengajar di almamaternya hingga akhir 1988. Saat itu mendapat tawaran beasiswa dari *Rabithah Alam Islami* untuk melanjutkan studi ke *International Islamic University*, Islamabad, Pakistan. Tahun 1992 ia menamatkan program sarjana (S-1) dalam bidang Tafsir Al- Qur’an. Kuliahnya berlanjut pada universitas yang sama dan menyelesaikan magister (S-2) dalam bidang Perbandingan Agama pada tahun 1994. Selama studi pascasarjana di Pakistan, Syamsi muda juga bekerja sebagai staf pengajar pada sekolah *Saudi Red Crescent Society* di Islamabad. Dari sekolah itulah kemudian ia mendapat kesempatan untuk mengajar pada *Islamic Education Foundation* Jeddah, Saudi Arabia di awal 1995. Itu yayasan pendidikan milik Amir Mamduh, adik Raja Fahd.Pada musim haji tahun 1996, Syamsi mendapat amanah untuk berceramah di Konsulat Jenderal RI Jeddah. Dalam perjamuan dakwah itu ia bertemu dengan beberapa jamaah haji luar negeri, termasuk Duta Besar RI untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), Dr. Nugroho Wisnumurti. Sang Dubes menawarkan kepadanya untuk datang ke New York, AS. Tanpa menyia-nyiakan waktu, Syamsi segera hijrah ke New York pada awal tahun 1997. Ia kini bertugas sebagai staf

Penhumas di Perwakilan Tetap RI untuk kantor PBB. Kiprah Syamsi tak terbatas hanya di ruang birokrasi kantornya di 325 *East 38th Street*, New York, NY 10016. Ia aktif dalam berbagai kegiatan keislaman dan kemanusiaan, terutama di Masjid *96th Street* yang merupakan *Islamic Cultural Center of New York* (ICCNY).

Setiap Jumat siang waktu setempat atau Sabtu dini hari Waktu Indonesia Barat, Syamsi menyampaikan khutbah di masjid terbesar kota New York itu. Setiap Jum’atan, ruang *basement* masjid dan dua lantai di atasnya acap membludak dan menampung lebih dari 15 ribu jamaah. Usai shalat, biasanya Syamsi memberi taklim “*Islam for Beginners*” dalam *halaqah* kecil di pojok masjid. Murid-muridnya kebanyakan kaum muda berasal dari berbagai bangsa. Ada Arelis (keturunan Eropa), Margeritha (asal Amerika Latin) atau Franklin (asli Amerika). Syamsi menjadi *murabbi *bagi warga dunia yang mengalami kegersangan spiritual di abad modern. (Ali Asnawi)

 Berdakwah di Jantung Kota Dunia  
DAI MUDA DI NEW YORK CITY
Penulis: M. Syamsi Ali, MA
Penerbit, Gema Insani, Jakarta, April 2007, 376 halaman

Sore itu, 23 September 2001, Stadion Yankee, New York City, dipadati puluhan ribu pengunjung. Mereka tidak sedang menonton bisbol sebagaimana lazimnya. Tapi, hari itu, semua komponen masyarakat dari berbagai etnis ataupun agama, berkumpul dalam perhelatan dengan tajuk "A Prayer for America". Doa bersama itu diselenggarakan pasca-serangan ke gedung World Trade Center, 11 September 2001.

Dalam acara yang dihadiri mantan Presiden Bill Clinton bersama istri, Gubernur Negara Bagian New York Robert Pataki, dan Wali Kota New York Rudolph Giuliani itu, tampil seorang lelaki muda berperawakan langsing, membacakan doa-doa yang dinukil dari Al-Quran dengan fasih. Semua jaringan televisi di Amerika Serikat menayangkannya. Juga CNN yang memancarkan ke seantero dunia.

Doa yang dipanjatkan dalam bahasa Arab itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh seorang perempuan berjilbab, juga dengan fasih. Hampir semua yang hadir menunduk. Ada yang bergetar dadanya, tak sedikit yang meneteskan air mata. Siapakah lelaki muda nan langsing itu? Dia adalah Muhammad Syamsi Ali, kelahiran Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, 5 Oktober 1967. Peraih magister di bidang perbandingan agama (1994) dari International Islamic University, Islamabad, Pakistan, itu adalah seorang staf Perhumas di Perwakilan Tetap RI untuk kantor PBB, New York. Ia masuk ke New York sejak 1996.

Selain pekerjaannya di birokrasi, Syami Ali bergiat di jalur dakwah dan menjadi Imam Masjid New York City. Usai salat Jumat, Syamsi Ali menggelar diskusi dengan membentuk lingkaran di pojok masjid. Pesertanya datang dari berbagai suku bangsa, baik mualaf maupun mereka yang mau mendalami Islam lebih jauh. Sebagai ustad, Syamsi Ali dengan ramah memberi penjelasan tentang hakikat Islam sebagai rahmat bagi alam semesta. Ia menjelaskan bahwa Islam bukanlah teroris, sebagaimana disangkakan oleh mereka yang tak paham ajaran Islam.

Lewat tulisannya, kita akan terkesima bagaimana piawainya Syamsi menjelaskan tentang syahid sembari meluruskan pemahaman yang dinilainya salah. "Seringkali kata 'syahid' diasosiasikan dengan mati dalam sebuah peperangan. Lebih tragis lagi,... seperti yang mati syahid ditunggu oleh 70 bidadari di surga. Asosiasi ini semakin memperburuk pemahaman orang, karena dianggapnya mereka yang melakukan "bom bunuh diri" didasari oleh ajaran 'syahadah' yang bayarannya berupa bidadari-bidadari cantik di surga" (halaman 269).

Menurut Syamsi Ali, syahadah yang dilakukan seorang syahid bisa beragam dalam hidupnya. "Dari melakukan penghambaan diri kepada Yang Mahasatu hingga kepada amalan-amalan sederhana lainnya, seperti membersihkan jalan, bersedekah, dan bahkan walau hanya tersenyum dengan ikhlas kepada sesama manusia" (halaman 270).

Kumpulan tulisan Syamsi Ali selama berdakwah di New York ini terdiri dari empat bagian dan ditutup dengan epilog oleh Sapto Waluyo. Alangkah bagusnya jika pada setiap item tulisan disebutkan sumber dan kapan diterbitkan, agar pembaca mendapat informasi tentang kontekstualitas ketika tulisan dibuat. Juga hadis-hadis yang dikutip perlu disebutkan sumbernya.

Meski esensi epilog yang ditulis Sapto Waluyo cukup bagus, bukan berarti tidak ada khilafnya. Di halaman 371, misalnya, ia menulis, "Buktinya, sejak peristiwa serangan '9 September 2001'." Yang benar adalah 11 September 2001.

Lepas dari kekurangan yang ada, buku ini adalah dokumen sejarah yang tinggi nilainya. Ya, di jantung kota dunia, New York, seorang da'i asal suku Kajang --suku yang terus terpinggirkan akibat modernisasi-- menjelaskan tentang Islam yang ramah. Keramahan Islam seperti disampaikan Syamsi Ali membuat banyak orang tertarik pada agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW itu. Ketertarikan adalah awal yang baik untuk memahami, mempelajari, dan membuang buruk sangka.

Herry Mohammad
[Buku, Gatra Nomor 28 Beredar Kamis, 21 Mei 2007]

0 comments: